Selasa, 28 Februari 2012

Senyum Membuat Orang Lebih Terbuka

SENYUMAN tidak hanya menyenangkan bagi yang melakukan. Namun juga bagi orang lain yang diberi senyum. Sebagai contoh ketika berada di suatu tempat dan diberi senyuman yang tulus oleh seorang yang tidak di kenal, pasti ada rasa senang di bathin kita.

Demikian ungkap Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Prof.DR.Lydia Freyani Hawadi, kepada JPNN. Bahkan tidak hanya itu, orang yang selalu tersenyum menurutnya juga akan dapat lebih mudah bergaul dan diterima dalam sebuah komunitas. Hal ini sendiri sangat dirasakan Lydia.

“Saya mungkin bukan orang yang tampangnya selalu terlihat tersenyum. Tapi saya selalu mengkondisikan diri untuk tetap tersenyum. Struktur muka saya, kayaknya memang terlihat serius. Ini saya ketahui karena ada feedback dari orang lain. Akibatnya membuat orang lain kaku karena sepertinya ada jarak. Makanya dalam mengajar saya coba mengikuti irama para mahasiswa dan selalu tersenyum.”

Menurut Lydia sendiri, dengan senyuman yang tulus, seseorang akan lebih nyaman berhubungan dengan orang lain. Baik orangtua hingga anak kecil. Selain itu, senyuman juga membuat orang menjadi lebih terbuka dan tidak kaku saat berhubungan dengan kita.

Untuk itulah wanita yang memimpin program studi timur tengah dan Islam pasca sarjana UI ini, mengajak para wanita maupun siapa saja untuk tidak ragu-ragu selalu berusaha tersenyum. “Dulu waktu muda, saya membayangkan nanti usia bertambah pasti lebih serius dan formal. Tapi ternyata nggak. Jadi dalam segala tahapan umur, kita perlu ngakak dan tertawa. Ini untuk menghilangkan stress. Tertawa itu lebih dari senyum, tapi paling nggak dengan tersenyum membuat hati lapang.”

Untuk selalu tersenyum sebenarnya tidak begitu sulit. Hanya tidak dipungkiri, senyuman seseorang biasanya dipengaruhi beban pikiran dan perasaan. “Kalau kita kesal, otomatis darah pada naik, jadi daerah bibir juga jadi kaku.”

Namun ibu 6 anak ini percaya, senyuman dapat dipelajari. “Kalau itu membuat kita lebih cantik dan menyenangkan, pasti kita akan belajar. Salah satu caranya dengan melihat foto kita sendiri. Kalau nggak senyum, sepertinya kurang enak dilihat. Jadi kita bisa belajar mencoba tersenyum di cermin. Jadi disini kita terlihat lebih cantik.”

Cara lain, Lydia menyarankan lewat humor, bacaan, maupun ber-sms dengan teman. “Jadi kita bisa ketawa sendiri dan ini membantu otot-otot bisa merenggang. Makanya nggak heran ada orang yang sudah tua, itu masih suka banyak komik. Jadi kita harus cari cara untuk tidak tegang. Karena kalau tegang, menimbulkan banyak penyakit,”ungkap wanita yang menilai bahwa sebenarnya dalam hidup, semua manusia diberi pilihan.

Baik pilihan untuk hidup sehat, pilihan menghindar dari beban persoalan maupun pilihan mengatasi persoalan dengan cara bersyukur. “Makanya kita harus gunakan sisi-sisi kreatif. Karena kita diberi akal budi. Kalau kita lagi stress tapi karena itikad baik mencoba tersenyum, itu pasti senyumannya akan terlihat palsu. Nah yang dirugikan disini ya kita sendiri. Jadi berusalah selalu mencari cara untuk bisa tersenyum. Kan senyum merupakan sedekah. Seutas senyum membuat orang lain merasa senang.

Sumber: JPNN

Jumat, 17 Februari 2012

Pertemanan, Kunci Kesehatan Mental Remaja

Sebuah penelitian terbaru di Kanada menemukan hubungan interpersonal di rumah, sekolah dan di antara teman sebaya sangat memengaruhi kesehatan mental remaja.

Peneliti mendapati para remaja perempuan mengalami masalah emosional lebih tinggi. Sedangkan remaja laki-laki cenderung mengalami masalah perilaku.

Studi dilakukan Badan Kesehatan Publik Kanada, dipimpin peneliti Universitas Queen ini meliputi 26 ribu remaja Kanada berusia 11-15 tahun. Hasilnya menunjukkan, seperlima anak laki-laki dan sepertiga anak perempuan merasa lebih sering tertekan atau merasa rendah diri dalam seminggu.

Seperempat dari anak laki-laki dan hampir sepertiga dari anak perempuan bahkan berharap mereka menjadi orang lain.

Meski begitu, sebagian besar remaja menilai mereka puas menjalani kehidupan. Mayoritas menyebut angka 8 atau lebih dari skala 10 mengenai kehidupan mereka. Secara keseluruhan, para remaja dalam studi mengatakan para orang tua lebih memahami keadaan mereka dibanding tahun-tahun sebelumnya.

"Untuk meneliti hubungan antara faktor-faktor kontekstual dan kesehatan mental ada satu tema kunci yang muncul, yaitu masalah hubungan interpersonal," kata John Freeman, direktur dari Universitas Queen.

Dia menjelaskan, "Tidak peduli bagaimana kesehatan mental diukur dan bagaimana hubungan interpersonal yang bersangkutan, remaja yang memiliki hubungan interpersonal yang positif cenderung memiliki tingkat kesehatan mental yang lebih baik," ujarnya seperti dikutip dari CTVNews. 

Sumber: VivaNews

Selasa, 14 Februari 2012

Manggis, Buah Eksotis Lawan Kanker

Siapa tak kenal manggis? Buah berwarna kulit ungu kemerahan, berdaging buah putih agak berserat, dengan perpaduan rasa manis, asam, dan juicy.

Tak hanya menawarkan kesegaran khas, buah asli Indonesia ini rupanya memiliki sifat penyembuhan terhadap sejumlah penyakit, seperti dikutip Times of India.

Sebuah penelitian mengungkap, manggis mengandung lebih dari 40 zat biologi aktif, yakni senyawa kimia alami yang disebut xanthone. Senyawa kimia yang terkonsentrasi di bagian kulit ini berperan penting sebagai zat antioksidan dan penguat sistem kekebalan tubuh.

Lewat sejumlah penelitian berkelanjutan, para ilmuwan menemukan bahwa manggis ekstrak kulit manggis membantu dalam pencegahan, bahkan penyembuhan berbagai penyakit seperti diabetes, penyakit jantung, Alzheimer, dan penyakit kronis lainnya.

Manggis juga mengandung polisakarida, senyawa dalam tumbuh-tumbuhan yang berperan sebagai agen antikanker dan antibakteri. Senyawa ini membantu memblokir mutasi sel-sel kanker sehingga menghambat penyebaran meluas.

Dalam sejumlah literatur, ekstrak kulit manggis bersifat menghambat dan mendukung penghancuran sel kanker. Kandungan xanthone menjadi kunci untuk membantu melawan penyebaran sel kanker yang menyerang payudara, darah, hati, dan getah bening.

Sumber: VivaNews

Minggu, 12 Februari 2012

Hukuman Fisik Membuat Anak Lebih Agresif

Memberi hukuman kepada anak secara fisik tidak akan mengurangi kenakalannya tapi justru membuatnya lebih agresif.

Pernyataan ini dibuat berdasarkan hasil penelitian Universitas Manitoba dan Rumah Sakit Anak dari Timur Ontario selama 20 tahun terakhir.

Times of India menyebutkan kalau penulis studi Joan Duurant dan Ron Enson menemukan bahwa hukuman fisik membuat anak lebih agresif dan dapat membahayakan mereka dalam jangka panjang.

"Perilaku anak-anak ini akan lebih agresif dan tidak takut terhadap orangtua, saudara, teman mereka. Hukuman fisik juga berhubungan dengan berbagai masalah kesehatan mental, seperti depresi, kecemasan dan penggunaan obat dan alkohol," ujar Durrant.

Ketika 500 orangtua dilatih untuk mengurangi ketergantungan mereka dalam menjatuhkan hukuman fisik, ternyata perilaku agresif anak ikut menurun. Sekarang hukuman fisik mulai ditinggalkan dan beralih ke upaya mendisiplinkan anak melalui pendekatan konstruktif.

Sumber: Yahoo